.post-body img {width: 2cm!important;height: auto!important; }

Selasa, 01 Mei 2012

Monyet-monyet yang bijaksana


Setiap orang, mahluk hidup akan hidup dalam suatu kelompok, bersama dengan orang-orang lain dalam kelompok kecil ataupun besar, mulai dari kelompok keluarga sendiri, suatu RT, RW, kelompok pekerjaan, kelompok hobby (satu kesenangan bersama, fotography, golf, caddy!?), kelompok alumni, kelompok facebook sampai kepada kelompok yang lebih besar, lebih luas (nasional / internasional) dll. Memang ada orang-orang yang hanya ingin berada dalam kelompok kecil saja tanpa mau bercampur dengan dunia luar secara intens, seperti kelompok Samin atau Baduy, tetapi ada banyak yang begitu gemar mencari begitu banyak perkelompokan, misalnya di internet. Tidak ada yang salah. Semua terserah kepada setiap orang itu sendiri.
Tetapi, yang paling penting, dalam berkelompok, bermasyarakat, apalagi berbangsa dan bernegara, diperlukan adanya aturan, perjanjian, sebagai panutan, falsafah hidup. Panutan atau falsafah hidup itu bisa datang dari berbagai penjuru, dalam negeri, ataupun luar negeri.
Dari sekian banyak falsafah yang ada, penulis menampilkan satu falsafah dari negeri China yang biasa disebut sebagai falsafah “3 Monyet Bijaksana”, yang mungkin bisa berfaedah bagi kita semua. Falsafah yang punya dua sisi, sisi kebaikan dan juga sisi keburukan.

Falsafah ini biasanya ditampilkan bukan dalam bentuk text (kalimat) tetapi berbentuk figur (patung) 3 ekor monyet yang duduk berdampingan. Setiap monyet menampilkan satu contoh panutan, keteladanan, atau kebaikan.
  • Monyet pertama menutup matanya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah melihat yang tidak baik”
  • Monyet kedua menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah berbicara yang tidak baik”
  • Monyet ketiga menutup telinganya dengan kedua telapak tangan, yang diartikan sebagai: “janganlah mendengar yang tidak baik”.
Maksud dari falsafah ini adalah agar kita bijaksana dalam melihat, berbicara dan mendengar segala hal dalam hidup kita:
  • Janganlah kita melihat, memaksakan diri melihat sesuatu yang tidak baik untuk diri kita sendiri, untuk masyarakat ataupun negara, juga
  • janganlah berbicara yang tidak baik, apalagi mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh ataupun marah-marah, memaki-maki orang lain, dan tentu juga
  • jangan sampai mendengarkan pembicaraan yang tidak baik.
Apa yang diharapkan di-panut-i dari falsafah ini:
  • Diharapkan setiap orang bisa bertindak bijaksana dalam berbagai tindakannya,
  • membuat dan menjalankan kebijaksanaan dan kebijakan yang dalam hidupan seseorang,
  • kebijakan dan kebijaksanaan yang baik seharusnya lebih ditampilkan bukan malah ketidak-bijakan, ketidak-bijaksanaan yang semau-maunya, yang liar, yang tidak mau peduli dengan orang lain, berbuat jahat, mencuri, merampok, korupsi, berbohong, tidak adil, tidak jujur, berlaku curang, bertindak sewenang-wenang dan berbagai ketidak-baikan yang lain.


Ternyata falsafah ini telah diterapkan/digunakan oleh aparatur politik dan hukum Indonesia dengan baik. Kita (rakyat!!!) diharapkan tidak melihat ataupun mendengar yang tidak baik, meskipun ada begitu banyak ketidak-baikan, rakyat tidak boleh melihat itu, abaikan saja!!! Seperti kasus ibu Prita, yang seharusnya dia tidak boleh melihat ketidak-baikan itu. Lebih-lebih lagi ibu Prita seharusnya tidak membicarakan adanya hal yang tidak baik itu. Itu salah kata mereka! Maka ibu Prita harus menanggung beban hukuman. Begitu juga dengan aturan hukum UU ITE apa TEI atau T?I, saya nggak tahu itu. Yang jelas, undang-undang itu telah memelintir falsafah 3 Monyet Bijaksana itu untuk kepentingan P.E. LEGISLATUS, P.E. APARATUS, dan P.E. lainnya (kelompok mahluk purbakala) yang sedang meradang (baca tulisan ‘Phitecantropus Erectus Motoritus’), karena keterbukaan apalagi dunia maya (internet) sudah menjadi momok bagi mereka.

sumber: wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar